Dilema Pengelolaan Kamp Pengungsi Suriah di Afrin
Di wilayah utara Suriah, terutama pedesaan Afrin, kamp pengungsi kembali menjadi sorotan. Video terbaru memperlihatkan kondisi beragam di lapangan, dengan dua jenis kamp yang kini menghadapi nasib berbeda. Fenomena ini menimbulkan perdebatan tentang cara terbaik mengelola permukiman sementara tersebut.
Jenis pertama adalah kamp pengungsi yang ditinggalkan sebagian penghuninya. Mereka yang pergi membawa serta terpal dan atap yang dulu menjadi pelindung sederhana. Akibatnya, kamp terlihat berantakan, dengan tenda-tenda tak lengkap dan sebagian besar tanpa atap. Pemandangan ini menggambarkan keterdesakan hidup para pengungsi yang terpaksa memanfaatkan kembali bahan seadanya.
Jenis kedua adalah kamp yang sebagian besar penghuninya telah kembali ke rumah masing-masing. Melihat kondisi tersebut, pihak pengelola kamp mengambil langkah tegas. Mereka merobohkan tenda-tenda kosong agar tidak ditempati lagi oleh pengungsi baru. Alasannya adalah untuk memudahkan distribusi bantuan pangan agar lebih teratur dan tepat sasaran.
Video memperlihatkan bahwa kebijakan ini memang menimbulkan perdebatan. Sebagian pihak menganggap langkah merobohkan kamp kosong efektif dalam mencegah penumpukan pengungsi baru yang tidak terdata. Namun, ada juga yang menilai tindakan itu terlalu keras dan menghilangkan potensi tempat tinggal darurat yang sewaktu-waktu dibutuhkan.
Kamp-kamp pengungsi di Afrin sendiri awalnya dibangun dengan bantuan dana berbagai LSM khususnya dari Turki pada tahun 2019. Namun, pembangunan itu menimbulkan kontroversi karena mengakibatkan penebangan ratusan pohon pinus di kawasan pedesaan. Kini, setelah beberapa tahun, sebagian permukiman tersebut justru hancur akibat ditinggalkan.
Kerusakan kamp tak hanya disebabkan oleh alam, tetapi juga oleh penghuni yang kembali ke desa asalnya. Mereka membongkar sendiri tempat tinggal sementara untuk mengambil material yang bisa dipakai kembali. Hal ini membuat permukiman sementara tampak porak-poranda dan sulit difungsikan ulang.
Warga yang kembali ke rumah masing-masing umumnya berusaha membangun kembali kehidupan di desa yang sebelumnya ditinggalkan. Namun, jejak kehancuran kamp pengungsi tetap menjadi persoalan tersendiri bagi pihak berwenang. Pemandangan bekas tenda kosong dan puing kamp menimbulkan kesan kumuh di kawasan pedesaan.
Pertanyaan besar pun muncul: mana yang lebih baik, membiarkan kamp semi permanen tetap utuh meski kosong, atau merobohkannya agar lebih mudah dikelola? Pertanyaan ini masih menjadi perdebatan di kalangan masyarakat dan organisasi kemanusiaan.
Mereka yang mendukung kamp dibiarkan utuh berpendapat bahwa tenda-tenda kosong bisa dimanfaatkan kembali sewaktu-waktu. Misalnya, jika terjadi gelombang pengungsi baru akibat konflik atau bencana alam. Dengan begitu, proses penampungan bisa berlangsung cepat tanpa harus membangun ulang dari nol.
Namun, pihak yang setuju dengan perobohan kamp menekankan aspek keteraturan. Menurut mereka, kamp yang ditinggalkan bisa menjadi beban distribusi bantuan karena berpotensi dihuni kembali secara tidak resmi oleh pengungsi baru. Hal itu bisa menimbulkan kekacauan administrasi dan memperumit pengawasan.
Selain itu, kamp kosong yang dibiarkan berdiri sering menjadi sumber masalah kebersihan. Tanpa penghuni tetap, tenda-tenda mudah rusak, berdebu, bahkan bisa menjadi tempat penumpukan sampah. Kondisi ini justru membahayakan kesehatan masyarakat sekitar.
Di sisi lain, keberadaan kamp yang dirobohkan memang memudahkan organisasi kemanusiaan dalam mendistribusikan pangan. Bantuan bisa lebih terfokus pada pengungsi yang benar-benar terdata dan masih tinggal di lokasi tertentu. Namun, risiko kekurangan tempat penampungan baru tetap menghantui jika situasi darurat kembali muncul.
Afrin sendiri menjadi simbol dilema ini. Kawasan pedesaan yang rusak parah akibat konflik kini harus menghadapi persoalan baru: mengelola sisa-sisa kamp pengungsi. Warga yang kembali membongkar tenda untuk mengambil material juga menunjukkan betapa rapuhnya sistem penampungan sementara.
Langkah ke depan masih perlu dirumuskan bersama. Sebagian pihak mengusulkan pendekatan tengah: kamp dibiarkan utuh di lokasi-lokasi strategis sebagai cadangan, sementara kamp lain yang benar-benar kosong dan tak terurus bisa dirobohkan demi ketertiban.
Pilihan ini dianggap lebih fleksibel. Di satu sisi, kebutuhan darurat tetap bisa diantisipasi. Di sisi lain, penataan wilayah dan distribusi bantuan tidak menjadi berantakan.
Pada akhirnya, pengelolaan kamp pengungsi di Afrin mencerminkan kompleksitas persoalan kemanusiaan di Suriah. Tidak ada solusi tunggal yang bisa memuaskan semua pihak. Yang jelas, kebijakan harus mempertimbangkan kebutuhan jangka pendek sekaligus kesiapan menghadapi kondisi darurat di masa depan.
Keputusan membiarkan kamp tetap berdiri atau merobohkannya memang tidak sederhana. Masing-masing pilihan memiliki risiko dan keuntungan. Namun, pengalaman di Afrin menunjukkan perlunya kebijakan yang lebih adaptif, bukan hanya sekadar keputusan sepihak. Apalagi beberapa kamp pengungsian semi permanen itu sudah menjadi seperti desa atau kota sendiri lengkap dengan berbagai fasilitas umum seperti taman bermain, masjid, sekolah dan lain sebagainya.
Kini, dengan kamp-kamp yang semakin kosong dan pedesaan Afrin yang masih hancur, semua pihak menunggu arah baru pengelolaan pengungsi. Apakah kamp akan tetap berdiri sebagai cadangan, atau akan dihapus demi keteraturan? Jawabannya masih terus dicari, di tengah situasi kemanusiaan yang belum sepenuhnya pulih.
Dilema Pengelolaan Kamp Pengungsi Suriah di Afrin
Reviewed by peace
on
14.46
Rating:
Tidak ada komentar
Posting Komentar